Kebebasan Internet di Indonesia Menurun – Riset terbaru Freedom House mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang “bebas sebagian” dalam kebebasan berinternet. Indonesia mendapat skor 51/100, turun tiga poin dari tahun sebelumnya. Adapun skor yang diberikan oleh Freedom House dalam skala 100 hingga 0, dengan skor 100 mewakili kondisi paling bebas, atau dibagi menjadi 3 yakni 100-70 (bebas), 69-40 (bebas sebagian) dan 39-0 (tidak bebas).
Penelitian tersebut dibagi dalam tiga aspek yaitu hambatan untuk mengakses dengan nilai 14/25, aspek pembatasan konten 19/35 dan aspek pelanggaran hak pengguna mendapat nilai 18/40. idn slot online
Dilansir dari VOA Indonesia, Jumat (08/01/2020), penyebab penurunan kebebasan Internet Indonesia antara lain adanya pembatasan akses ke media sosial, manipulasi konten untuk kepentingan politik pada pemilu April 2019, dan kematian jurnalis Muhammad Yusuf pada 2018 dalam tahanan polisi. www.mrchensjackson.com
Dalam persiapan Pilpres lalu, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kemkominfo) mempekerjakan 70 staf untuk memantau medsos secara
real time dan mengancam akan menuntut mereka yang melanggar hukum. Kemkominfo
juga melaporkan telah memblokir 961.456 situs web yang berisi ‘konten negatif’.
Lembaga yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia
Tenggara, Safenet memperkirakan kondisi kebebasan Internet di Indonesia akan
terus memburuk pada tahun depan. Koordinator Regional Safenet Damar Juniarto
mengatakan, perkiraan tersebut mengacu kepada menteri Kominfo yang baru, yang
akan melanjutkan kebijakan pembatasan Internet saat kondisi ‘kacau’.
Ditambah lagi, kata Damar, pembatasan Internet juga tidak hanya pasca-Pilpres pada April lalu. Namun pemerintah juga beberapa kali memblokir akses Internet seluler di Papua dan Papua Barat seiring dengan aksi yang meluas di sana pada September lalu.
Damar menambahkan kondisi ini menandakan masih banyak
pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan kebebasan
Internet dapat terpenuhi pada masa mendatang. Khususnya memastikan pembatasan
Internet dan manipulasi konten untuk kepentingan politik, serta pelanggaran hak
pengguna terulang kembali.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika
Kominfo, Semuel A. Pangarepan mengatakan pembatasan fitur media sosial
pasca-Piplpres lalu dilakukan untuk menjaga kestabilan keamanan menyusul
demo-demo di Jakarta pada Mei lalu. Kata dia, kebijakan tersebut juga diumumkan
secara terbuka ke masyarakat.
“Kenapa kita tutup, karena yang beredar di medsos tidak punya kaidah jurnalistik. Mereka memang benar-benar ingin menyebarkan hoaks. Tapi kita tidak menutup bagi media, saat kejadian semua televisi memberitakan dan seluruh Indonesia melihat,” jelas Semuel ke VOA, Kamis (08/01).
Semuel Pangarepan mengatakan kebijakan pembatasan fitur
media sosial dan pemblokiran Internet sudah sesuai aturan hukum yang berlaku di
Indonesia. Kata dia, pemerintah juga tidak menutup kemungkinan akan melakukan
kebijakan serupa dalam situasi yang rusuh atau kacau.
Namun demikian, Semuel membantah jika pemerintah memblokir
platform yang melayani komunitas LGBT dan Netflix. Menurutnya, pemblokiran yang
dilakukan oleh pemerintah hanya terjadi jika ditemukan pornografi dalam
platform tersebut.
Di samping itu, Semuel menjelaskan pemerintah juga melakukan gerakan-gerakan literasi di berbagai daerah untuk memerangi penyebaran hoaks. Kemen Kominfo juga akan membuat peraturan menteri yang akan mengatur penyedia platform agar lebih bertanggung jawab terhadap konten yang beredar. Menurut Semuel, peraturan menteri tersebut ditargetkan akan keluar pada tahun ini.
Runtuhnya pemerintahan otoriter era Orde Baru pada tahun
1998 memunculkan harapan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang demokratis.
Meski demikian, studi terbaru justru menunjukkan bahwa kebebasan internet di
Indonesia, sebagai salah satu aspek demokrasi, sedang menurun.
Riset terbaru yang dilakukan Freedom House, lembaga
penelitian yang berfokus kepada hak politik dan kebebasan sipil, menunjukkan
bahwa kebebasan internet di Indonesia turun 3 poin dari tahun-ke-tahun ke angka
51/100. Sebelumnya, pada tahun 2018, riset bertajuk Freedom on The Net ini
menilai kebebasan internet Indonesia berada di angka 54/100.
Dengan nilai tersebut, Freedom House mengkategorikan
Indonesia sebagai negara yang ‘sebagian bebas’ dalam berinternet. Sebagai
catatan, setiap negara yang dinilai Freedom House akan dimasukkan ke dalam
skala 100 hingga 0, dengan skor 100 mewakili kondisi yang paling bebas.
Freedom House memberikan contoh beberapa kasus kunci sejak 1
Juni 2018 hingga 31 Mei 2019 yang membuat kebebasan internet di Indonesia
menurun. Pada aspek hambatan akses internet, misalnya, mereka memberi nilai
14/25.
Pada aspek hambatan akses, kasus kunci yang mereka soroti
adalah pembatasan media sosial dan platform komunikasi pada Mei 2019. Pada
waktu itu, pemerintah membatasi akses internet selama dua hari dengan alasan
untuk membatasi penyebaran disinformasi pasca pemilihan presiden.
Selain hambatan akses, Freedom House juga menilai aspek
pembatasan konten. Untuk aspek ini, mereka hanya memberi nilai 19/35.
Freedom House menganggap bahwa disinformasi di Indonesia
merupakan kasus yang serius, seiring dengan manipulasi buzzer bayaran politikus
untuk menyebarkan propaganda politik mereka. Selain itu, mereka juga
menggarisbawahi pemblokiran ratusan ribu situs web yang diblokir oleh
pemerintah yang dianggap sebagai “konten negatif”.
Adapun pada aspek ketiga, yakni pelanggaran hak pengguna,
Freedom House memberikan nilai rendah dengan skor 18/40. Nilai kecil tersebut
didasari oleh beberapa kasus kunci yang disoroti Freedom House, mulai dari
pengawasan pemerintah hingga kematian jurnalis.
Pada Oktober 2018, misalnya, pemerintah menciptakan ‘war
room’ yang berisikan 70 pegawai untuk memonitor media sosial secara real time.
Selain mengawasi, pemerintah juga mengancam akan menuntut mereka yang dianggap
menyebarkan hoaks.
Freedom House juga mencontohkan pelanggaran hak pengguna
internet dengan kasus kematian Muhammad Yusuf, seorang jurnalis media online
‘Kemajuan Rakyat’, yang meninggal dalam tahanan ketika menunggu proses
persidangan. Kematiannya ini dikaitkan dengan berita yang dia buat tentang
sengketa tanah antara petani dengan perusahaan kelapa sawit pada Juli 2018.
Hasil riset ini pertama kali diketahui dari utas yang dibuat
oleh Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet),
Damar Juniarto, di Twitter. kumparan sudah meminta tanggapan Kominfo terkait
penelitian ini, namun belum ada tanggapan.
Riset bertajuk “Freedom on the Net 2019” dari lembaga
tersebut menunjukkan bahwa skor kebebasan internet Indonesia berada pada angka
51 dari skala 0 hingga 100. Angka ini sedikit menurun dari angka 54 di tahun
sebelumnya.
Skor tersebut mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang
‘sebagian bebas’ dalam berinternet.
Evaluasi dari riset ini dilakukan dari Juni 2018 hingga Mei
2019. Freedom House mengungkapkan bahwa meskipun penggunaan internet terus meningkat,
masyarakat Indonesia masih menghadapi berbagai kendala untuk berselancar di
internet.
Riset ini menyalahkan sikap ‘pembatasan media sosial
berselang’ yang dilakukan oleh pemerintah.
Pembatasan tersebut diberlakukan setelah polarisasi
pemilihan presiden pada bulan April lalu antara Presiden Joko Widodo “Jokowi”
dengan kandidat lawan yaitu Prabowo Subianto. Pendukung Prabowo menuduh
kemenangan Jokowi sebagai hasil penipuan pemilu.
Pemerintah membatasi akses ke berbagai platform media sosial
serta aplikasi pengirim pesan online dari tanggal 22 sampai 24 Mei, selama aksi
demo pasca pemilihan presiden.
Menrut riset, aksi demo yang berlangsung rusuh tersebut
digunakan sebagai “pembenaran oleh pihak berwenang untuk membatasi media sosial
serta platform komunikasi.”
Ada pula dugaan pembatasan internet yang dilakukan pada
bulan Agustus lalu ketika pemerintah memberlakukan pemblokiran internet di
Papua dan Papua Barat dengan mengutip kekhawatiran keamanan atas “aksi demo
anti-diskriminasi dan pro-kemerdekaan.”
“Manipulasi yang terkoordinasi atas konten online oleh
pemerintah, pihak pendukung, dan aktor politik lainnya telah mendistorsi
lanskap penyebaran informasi…… para aktor politik mengeksploitasi perpecahan
yang ada dan mendeligitimasi proses pemilihan demi mendapatkan keuntungan
politik,” menurut riset dari Freedom House.
Menurut riset tersebut, kedua kubu kandidat presiden
dilaporkan menyewa ahli strategi kampanye online dan memobilisasi komentator
bayaran yang dikenal sebagai “buzzer” serta akun otomatis untuk menyebarkan
propaganda politik menjelang pemilihan presiden.
Riset ini juga menyebutkan sejumlah jurnalis yang telah
menjadi sasaran doxing serta bentuk kekerasan lainnya setelah mempulikasikan
konten online.
Salah satu contoh yang digunakan adalah seorang jurnalis
detik.com yang menjadi korban setelah ia mengutip seorang tokoh terkemuka yang
mendesak masyarakat untuk tidak memilih Presiden Jokowi dalam laporannya.
“Doxing” mengacu pada tindakan penyebarluasan informasi
pribadi orang lain atau melacak informasi pribadi seseorang di internet, yang
biasanya dilakukan dengan niat yang tidak terpuji.
Riset ini juga melaporkan bahwa kelompok minoritas di
Indonesia – komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT –
terus menjadi sasaran sensor dan pembatasan online oleh pihak berwenang.
Contohnya, Google terpaksa menghapus 73 aplikasi yang
memiliki tema LGBT dari toko online-nya atas permintaan Kementerian Komunikasi
dan Informatika Indonesia.